Jumat, 24 September 2010
Selamatkan Bahasa Indonesia dengan Dialog dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
ntuk menerampilkan siswa berbahasa Indonesia, para guru hendaknya mengubah metode pengajaran bahasa Indonesia dari monolog menjadi dialog. Siswa sebaiknya dilibatkan dalam proses membaca, menulis, dan berbicara, sehingga daya imajinasi mereka tergugah dalam mengartikulasi kata-kata bahasa Indonesia. Sejalan dengan itu, politik bahasa harus mempertegas peniadaan kata serapan asing selama kata yang bersangkutan ada dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Demikian wacana pada diskusi panel "Bahasa Indonesia dalam Bahaya" di Jakarta, Senin (6/10). Diskusi yang digelar harian Kompas tersebut menampilkan sejumlah pakar dan pemerhati bahasa, yakni Riris K Toha-Sarumpaet, Prof Sudjoko, Ayat Rohaedi, Hasan Alwi, dan Nirwan A Arsuka. Hadir dan ikut berbicara Prof Liek Wilardjo, Bambang Kaswanti, serta Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono. Bagian proses berpikir Riris mengingatkan, belajar bahasa, kegiatan membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Selama ini, guru tidak menempatkan siswa sebagai manusia yang berpikir.Mengacu pada kurikulum sekolah dasar, Riris menilai, pelajaran bahasa Indonesia melulu berupa pelajaran dan pengetahuan bahasa. "Siswa tidak diarahkan berpikir, berlatih secara kritis dan inovatif mengenal diri dan kehidupan. Situasi demikian yang menempatkan guru sebagai penguasa sulit melahirkan pikiran yang jernih," katanya. Muaranya, para siswa bisa berartikulasi dan terampil memilih kata untuk menguraikan konsep. Melalui dialog dalam pengajaran bahasa Indonesia, sesungguhnya keindonesiaan dapat ditanamkan. Ketika berbicara mengenai lokalitas, bacaan Indonesialah yang akan menentukan. Tatkala berhadapan dengan globalisasi, di mana keadaan dan istilah yang sering dimanfaatkan sebagai alasan, sebenarnya keindonesiaanlah yang tertantang. Masalahnya, mana mungkin ada kemantapan bila bacaan yang disodorkan pada siswa di kelas adalah teks kosong dan kering?" papar Riris. Saling melengkapi Para pembicara lainnya sepakat bahwa bahasa Indonesia dan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, tidak perlu saling dibenturkan. Kedua bahasa tersebut saling melengkapi. Bagaimanapun, bahasa asing diperlukan sebagai modal pergaulan antarbangsa. Hanya saja penggunaan istilah dari bahasa asing harus memenuhi kaidah agar kata yang dimaksudkan tidak menjadi rancu. Sudjoko menilai, selama ini kalangan media massa cenderung menggunakan bahasa Ingris untuk istilah tertentu dengan dalih istilah yang dimaksud tidak ada dalam bahasa Indonesia. Padahal, kalau saja wartawan rajin membuka kamus, pastilah kata yang dimaksud ada dalam bahasa Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar