Pagi-pagi buta aku sudah terbangun oleh dering handphoneku yang senada ketika ia berputar bergesekan dengan meja. Sungguh mengesalkan terbangun seperti itu. Aku berusaha tidak mengubrisnya tapi percuma. Telepon itu dari Sinta. Dan kalau tidak aku angkat, maka mampuslah aku. Jadi aku angkat telepon itu, dengan benar-benar enggan.
“Halo?”
“Banguun, Say. Kau tidak lupa janji kita, kan?” kata Sinta, bertepatan dengan saat aku mengeluarkan uap panjangku.
“Apa? Oh, iya. Tentu saja. Aku, err..dalam perjalanan kesana.” Bohong.
“Bohong. Aku dengar tadi kau menguap. Sudah kamu di situ saja. Biar aku yang kesana.”
Sinta memutuskan hubungan. Sepertinya ia sedang berada di dalam bus. Sungguh berisik. Begitulah bus kota. Dan itulah kenapa aku lebih memilih naik sepeda. Kadang Sinta mewanti-wanti supaya aku mau sekali-kali naik bus. Katanya ia sulit melihatku belakangan ini. Tentu aku naik bus sekali-kali. Tapi tidak setiap kali. Banyak kejahatan terjadi di dalam bus. Dan kasus kecelakaan juga. Sepeda? Hampir tidak pernah.
Aku mengambil handukku dan 15 menit kemudian sudah berpakaian lengkap. Yaa, lebih lambat dari biasanya. Aku masih setengah tertidur. Semalam aku naik ranjang jam 3. Kerjaan betul-betul menumpuk dan satu-satunya hari liburku harus kuhabiskan bersama Sinta. Apa yang lebih buruk dari semua ini? Aku pikir, bisa-bisa aku pensiun dini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar