TULUNGAGUNG - Tombak Kiai Upas, pusaka Kerajaan Mataram Islam yang menjadi cikal bakal sejarah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (24/12/2010) dimandikan (jamas). Ritual yang berlangsung rutin setiap minggu pertama penanggalan Suro itu selalu menarik perhatian masyarakat Tulungagung.
Selain berkerumun guna menyaksikan prosesi jamasan dari jarak dekat, ratusan warga berharap bisa mendapatkan air bekas jamasan. Keyakinan akan berkah (tuah) air bekas cucian pusaka, membuat sebagian warga rela berdesak-desakan dan saling berebut. Mereka tidak lagi berpikir rasional jika air yang berwarna keruh kecoklatan tersebut mengandung racun warangan (arsenik) yang membahayakan jiwa.
Selain membasuhkan air jamasan pada bagian wajah agar bisa awet muda, atau menyiramkan pada bagian yang menderita penyakit, dengan tujuan lekas sembuh, tidak sedikit warga yang meminumnya. Tak heran, melalui loud speaker, panitia berteriak-teriak menyampaikan larangan keras agar jangan meminum air bekas jamasan. “Karena ini berbahaya mengandung warangan,“ teriak salah seorang panitia.
Kendati demikian, tidak semua warga mematuhi peringatan panitia. Mereka begitu yakin, dengan meminum air jamasan, hidup mereka akan lebih baik. “Buktinya sampai saat ini tidak ada kabar yang keracunan setelah meminum air jamasan,“ terang Suprapto (58), salah seorang warga Tulungagung.
Ritual yang digelar rutin setiap bulan Suro ini berlangsung di pendopo Dalem Kanjengan, Kelurahan Kepatihan. Dalem Kanjengan merupakan tempat tinggal mendiang Raden Mas Pringgo Kusumo, Bupati Tulungagung ke X. Berdasarkan babad sejarah Tulungagung, sebelum bertempat tinggal di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso di sekitar lingkungan alun-alun Kota Tulungagung, Bupati Tulungagung menjalankan pemerintahanya dari Dalem Kanjengan.
Pusaka Kiai Upas yang berwujud tombak ini berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Mataram Islam. Kiai Upas merupakan pusaka milik Ki Ageng Mangir, menantu Raja Mataram yang menolak tunduk dengan kekuasaan (Mataram). Pemberontakan Mangir berhasil dipadamkan setelah Ki Ageng Mangir terbunuh. Tombak Kiai Upas sendiri dikuasai oleh Mataram. Oleh panitia kisah tombak kiai upas ini diceritakan ulang dalam setiap prosesi jamasan.
Bahkan ada beberapa tahapan ritual yang benar-benar tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Misalnya, jamasan kiai upas hanya boleh dilakukan para lelaki yang berjumlah kurang lebih 40 orang. Sementara kaum perempuan hanya diperbolehkan berada di dapur. Itupun para perempuan yang sudah mengalami monopouse.
Selain Wakil Bupati Tulungagung M Athiyah dan Sekda Maryoto Birowo, ritual tahunan ini juga dihadiri beberapa anggota legislatif. Acara yang berlangsung mulai pukul 08.00 Wib ini berakhir sekitar pukul 10.30 Wib.
Kasi Sejarah Nilai Tradisi Disparbudpora Kabupaten Tulungagung Sri Wahyuni mengatakan, apa yang dilakukan pemkab sebagai upaya melestarikan budaya bangsa. Di sisi lain kegiatan ini bisa menjadi wisata sejarah. Sebab yang hadir untuk menyaksikan jamasan kiai upas tidak hanya warga Tulungagung, tetapi juga warga disekitarnya.
Kendati demikian ia berharap kegiatan kebudayaan ini jangan sampai menabrak nilai-nilai keagamaan yang ada. “Begitu juga dengan keselamatan untuk mendapatkan air jamasan juga benar-benar diperhatikan,“ ujarnya. Acara ditutup dengan berdoa dan makan tumpeng bersama. Endroto, salah seorang pewaris tombak Kiai Upas, yang juga keturunan langsung mendiang Bupati Pringgodikdo sayangnya enggan memberikan keterangan. Endronoto memilih menghindar daripada menjelaskan sejarah Kiai Upas secara rinci. “Maaf saya sedang sibuk," ujarnya singkat sembari berlalu.(Solichan Arif/Koran SI/mbs)
Jumat, 24 Desember 2010
Ritual Jamasan Tombak Kiai Upas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar